--= Sekedar Coretan =--
"Katempo Ayana, Kadenge Sorana jeung Karasa Mangfaatna"

Kamis, 04 Juli 2013

REFLEKSI MENJELANG PELANTIKAN BUPATI SUMEDANG

REFLEKSI MENJELANG PELANTIKAN BUPATI SUMEDANG
oleh : Ryan Syaifurrachman*)


Demokrasi membawa dua implikasi, harapan sekaligus kecemasan (Amartya Sen)


Sang pemimpin memang datang dan pergi. Tapi kehadirannya tak pernah persis sebangun dan kemudian memberikan jejak yang menjadi bukti bahwa rakyat di republik ini punya harapan dan cita-cita. Faktanya, sampai detik ini, jalan yang dilalui oleh para pemimpin kita itu seperti melenceng dari cita-cita luhur republik sebagaimana tersurat secara tegas baik dalam Pancasila maupun UUD 45.


Kehidupan rakyat tetap saja merana karena pemimpin dan juga negara seola-olah menjadi sosok yang asing dan sibuk dengan urusannya sendiri. Janji manis beserta bujuk rayunya yang diobral di arena konsolidasi dan diteriakan di mimbar-mimbar kampanye, hilang begitu saja dan menguap menjadi sekadar dusta! Benarlah apa yang dikatakan Nietzsche, “negara adalah monster yang terdingin hatinya, dan dengan dingin pula ia berdusta”.


Dalam diskursus demokrasi dikenal dua buah entitas integral demokrasi, yaitu procedural dan subtansial. Entitas pertama mengacu kepada proses dan entitas kedua berorientasi pada tujuan idiil dari demokrasi itu sendiri. Keduanya bersifat kausalitas dan resiprokal, yaitu berkinlan dan saling mempengaruhi. Baik salah satunya maka baik yang lainnya begitupun sebaliknya.

Pemilukada adalah manisfetasi dari demokrasi procedural dan terciptanya sebuah pemerintahan yang baik (goodgovernance) yang berorientasi pada terkonstruksinya sebuah masyarakat yang sejahtera (welfare state) adalah substansi/tujuuan idiil dari demokrasi itu sendiri.

Pemilukada merupakan ruang kontestansi kepentingan sekaligus kontrak politik awal antara elit politik sebagai calon pemegang otoritas pemerintahan dan rakyat sebagai entitas yang akan diperintah. Sejatinya pemilukada sebagai operasional sistem dari demokrasi melahirkan sosok pemimpin dan pelayan bukan penguasa dan pemerintah. Tapi apa lacur wajah demokrasi kita, termasuk dikabupaten Sumedang tercinta, hingar bingar dan berlimpahan kemewahan tapi menapikan substansi dari demokrasi itu sendiri yaitu kontrak politik dan sosial dalam menciptakan kesejahteraan untuk rakyat sang pemilik kedaulatan. 

Bermilyar – milyar dana yang dihabiskan untuk sebuah pemilukada, tapi ketika seorang pemimpin telah dihasilkan dilegitimasi melalui proses politik pemilukada maka kembali rakyat kecewa, merana dan hanya bisa pasrah dirundung nestapa. Alih – alih melahirkan pemimpin politik dan sosial yang bisa diharapkan membawa perubahan dan kesejahteraan, demokrasi kita dalam hal ini pemilukada hanya bisa menghasilkan pemimpin tipe bandit demokrasi, yang kerjanya hanya memuaskan syahwat kekuasaan dan menumpuk harta walalu diatas penderitaan rakyat sekalipun, seperti pepatah jerman das sein das solen, apa yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan. Sehingga tak berlebihan apabila ada sebagian masyarakat yang mulai bersikap apatis dan memiliki persepsi bahwa sejatinya pemilukada adalah jalan Tuhan dalam memilih wakil setan, sarkastis?? Memang iya tapi begitulah kenyataannya. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana pepatah yunani “vox populi vox dei” hanya dianggap sebagai objek penyerta bahkan objek penderita dari sebuah proses pemilukada sebagai sebuah pesta demokrasi.

Berkaca dari hal diatas maka sebagai bahan renungan bersama tak ada salahnya bahwa kontek perjuangan melawan lupa adalah sebuah gerakan yang harus diusung bersama setelah pemilukada usai dan pemimpin daerah terpilih. Hal ini penting dilakukan untuk sebuah proses pembelajaran bersama bahwa pemilukada adalah sebuah kontrak politik antara elit dengan rakyatnya. Sehingga janji – janji politik yang diumbar dan didengung- dengungkan oleh elit politik dimimbar – mimbar kampanye bukan merupakan sebuah “janji manis dan rayuan gombal” yang dilupkan dan dibiarkan sirna dari ingatan dan memori rakyat. 

Mari kita sama – sama membangun preseden politik yang baik bahwa janji kampanye adalah janji politik yang harus tuntas tertunaikan ketika elit tersebut mendapatkan legitimasi politik dengan menjadi pemenang di arena pemilukada. 

Mari kita menjadikan diri kita dan masyarakat yang lainnya menjadi pembelajar politik yang baik, dan jangan mau dijadikan objek dusta dimusin dusta oleh mesin dusta. Dan jadikan perjuangan melawan lupa pasca momentum pemilukada sebagai media untuk membenahi infrastruktur dan suprastruktur politik di Sumedang kita tercinta. 

Jangan biarkan para pemimpin hasil pemilukada dengan nyamannya menjadi seorang demagog politik yang kerjanya hanya menjadi agitator penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih, tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Besok sumedang tercinta memasuki sejarah baru dengan akan dilantiknya bupati sumedang periode 2013 – 2018. Kami ucapkan selamat!. Semoga dari pemilukada yang telah usai kami sebagai rakyat sumedang bisa mulai membangun harapan ataupun mimpi sekalipun tentang terealisasinya Sumedang yang sejahtera Sumedang yang tandang makalangan bukan Sumedang yang ngarangrangan. 

Kami hanya bisa berharap, walalupun kecemasan kami pun tinggi, karena seperti wajah pemilukada pada umumnya, rakyat lebih banyak kecewa dengan hasil pemilukada. Semoga hal ini tidak terjadi di Sumedang tercinta.

*) Penulis adalah Wakil Ketua DPD KNPI Sumedang Bidang Politik dan Hukum dan HAM, Ketua Presidium Mahasiswa Sumedang dan Ketua Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Sumedang

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dua arah yang dihadapi demokrasi saat ini di Indonesia khususnya di Jawa Barat, terutama sikap masyarakatnya. Di satu sisi dengan adanya demokrasi apalagi pemilihan langsung, masyarakat sangat berharap bisa mendapatkan pemimpin sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Namun di sisi lain, masyarakat mulai apatis dengan demokrasi, tidak peduli dengan pemilu. Coba saja lihat, Pemilukada Jawa Barat, berapa persen yang ikut memilih. Terbaru, Pilwakot Bandung, yang memilih kurang dari 60%.
Ini bisa menjadi catatan dan PR bagi penggemar dan penggagas demokrasi....