--= Sekedar Coretan =--
"Katempo Ayana, Kadenge Sorana jeung Karasa Mangfaatna"

Jumat, 12 Desember 2008

POLITIK MAHASISWA

dipublikasikan oleh : Acep K Hidayat Susanto

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia

Kutipan Lagu Totalitas Perjuangan di atas seolah ingin memberi tahu kita bahwa sejarah berbagai negara biasanya berbesar hati mengabadikan peran-peran signifikan gerakan mahasiswa dalam berbagai momentum besar negara tersebut. Namun faktanya, tak sedikit bias sejarah yang menjadikannya tak mampu menangkap gelora semangat, gelombang antusiasme dan aura idealisme yang menyertai pergerakannya yang monumental.

Pergerakan mahasiswa. Sebuah istilah yang dari masa ke masa senantiasa disertai diskursus wacana yang tajam mengenai fungsi dan perannya. Diskursus ini menjadi urgen karena ia akan sangat berkaitan dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa itu sendiri. Perdebatan yang terjadi biasanya dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan gerakan mahasiswa, terutama berkaitan dengan karakter pergerakannya. Yaitu, apakah pergerakan mahasiswa adalah gerakan moral atau gerakan politik? Atau kedua-duanya?

Hariman Siregar (Mantan Ketua BEM UI 1974, tokoh peristiwa Malari) dalam bukunya Gerakan Mahasiswa, Pilar ke-5 Demokrasi bersikukuh bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan bukan gerakan politik. Kalau sampai gerakan mahasiswa melakukan pergerakan politik, berarti dia telah keluar dari jati dirinya. Karena itu ia tidak bersepakat dengan gerakan mahasiswa yang bermain di tataran politik seperti menuntut mundur seorang presiden.

Hal yang berbeda disampaikan Rico Marbun (Mantan Ketua BEM UI yang menuntut Megawati mundur). Menurut dia, gerakan mahasiswa justru merupakan gerakan politik dan tidak perlu takut untuk menegaskan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik ekstraparlementer. Gerakan mahasiswa memiliki tanggung jawab secara politis atas bangsanya yang sedang dalam sakaratul maut, dan mereka dituntut untuk melakukan gerakan politik secara aktif dan masif.

Fajroel Rachman menegaskan bahwa gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan, tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Fajroel Rachman bahkan menyarankan sebagian pergerakan mahasiswa mendirikan partai politik dan menjadi bagian gerakan politik intraparlementer dengan terlibat dalam kancah politik formal sebagai elemen mahasiswa.

Pandangan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik inilah yang mendasari keterlibatan aktivis mahasiswa Indonesia sebagai anggota legislatif di DPR-MPR pada awal orde baru. Manuver tersebut ternyata dianggap gagal dan justru menimbulkan konflik internal pergerakan mahasiswa. Selain itu, pandangan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik juga mendasari munculnya wacana 'potong generasi' dan 'Junta Muda Mahasiswa' yang disuarakan beberapa elemen pergerakan mahasiswa Indonesia.

Wacana ini berkembang berkaitan dengan kemungkinan (bahkan keharusan) generasi muda, terutama mahasiswa untuk mengambil alih kekuasaan karena golongan tua yang hari ini memimpin dianggap memilik dosa-dosa masa lalu. Akibatnya, mereka gagu dan gagap melakukan reformasi dalam rangka transisi demokrasi.

Perbedaan pandangan tentang karakter pergerakan mahasiswa ini terkadang menajam dan menyebabkan konflik di kalangan aktivis mahasiswa itu sendiri. Para penganut gerakan moral an sich biasanya menuduh aktivis yang melakukan gerakan politik sebagai komparador partai politik tertentu, ditunggangi kepentingan politik tertentu dan lain-lain.

Sebaliknya, para aktivis yang meyakini gerakan mahasiswa bukan hanya gerakan moral, tapi juga gerakan politik biasanya menganggap orang-orang yang tidak terlibat bersama mereka sebagai apatis, apolitis,tidak melek politik dan lain-lain. Konflik-konflik di kalangan mahasiswa seperti ini masih sering terjadi sampai sekarang.

Gerakan politik nilai Vs gerakan politik kekuasaan
Sebenarnya, ada titik temu di antara dua aliran di atas karena kedua-duanya juga meyakini gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang universal. Perbedaan terjadi berkaitan dengan gerakan politik yang dilakukan mahasiswa. Apakah itu sesuai dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa?

Perbedaan pandangan di atas menyebabkan mahasiswa terpolarisasi dalam dua kutub yang berlawanan. Karena itu, kita perlu melakukan redefinisi, paradigma baru pergerakan mahasiswa dalam rangka rekonstruksi jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya rekonsiliasi antarkubu sekaligus langkah awal konsolidasi pergerakan mahasiswa Indonesia yang hari ini terkotak-kotak.

Kalau kita menganalisis secara jujur, aktivitas pergerakan mahasiswa seperti demonstrasi, orasi, seminar, kongres, pernyataan sikap, tuntutan dan lain-lain, sebenarnya merupakan aktivitas politik. Semua itu merupakan sarana komunikasi politik lisan dan tulisan. Jadi secara jujur tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik. Namun, gerakan politik seperti apakah yang layak dimainkan pergerakan mahasiswa? Apa yang membedakannya dengan partai politik?

Ada konsep menarik yang akhir-akhir ini mencuat dan saya melihatnya sebagai alternatif yang cerdas. Hal ini berkaitan dengan mencuatnya konsep 'gerakan politik nilai' (value political movement) dan 'gerakan politik kekuasaan' (power political movement).
Gerakan politik nilai adalah gerakan yang berorientasi terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme (kemanusiaan), profesionalitas dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara. Sedangkan gerakan politik kekuasaan merupakan gerakan politik untuk mencapai kekuasaan seperti yang dilakukan oleh partai-partai politik.

Gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai ini tidak mempedulikan siapa yang berkuasa, karena siapa pun yang berkuasa akan menjadi sasaran tembak ketika melakukan penyimpangan. Ia tidak berkepentingan mendukung seseorang untuk menjadi penguasa, tapi siapa pun penguasa yang otoriter akan berhadapan dengan gerakan mahasiswa.

Hal tersebut jelas berbeda dengan ketika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan, karena ia sangat peduli siapa yang berkuasa dan senantiasa berusaha merebut kekuasaan itu, atau berusaha terus mempertahankan kekuasaan itu ketika ia menjadi penguasa atau membela organisasi/partai yang menjadi patronnya ketika menjadi penguasa. Gerakan politik nilai mahasiwa bersifat independen, tidak mendukung calon penguasa dan tidak masuk ke dalam sistem pemerintahan atas nama pergerakan mahasiswa. Karena, jika hal tersebut dilakukan, fungsi controlnya hilang dan tugas utama mahasiswa, yaitu belajar, menjadi terbengkalai.

Namun, ketika gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai, gerakan ini lebih memainkan fungsinya sebagai kontrol sosial dan tekanan sosial (social pressure) terhadap kekuasaan. Kalaupun gerakan menukik menjadi tuntutan mundur penguasa, itu didasari standar nilai yang jelas bahwa pemerintah sudah tak mampu dan bukan dalam rangka menaikkan seseorang menjadi penggantinya.

Gerakan politik kekuasaan biasanya tidak independen karena kepentingannya sempit: kekuasaan. Jika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan, maka bukan merupakan hal yang tabu untuk mengatasnamakan aktivis gerakan mahasiswa dalam rangka mendukung calon penguasa (seperti yang dilakukan Rico Marbun dkk dengan terang-terangan mendukung Jenderal Wiranto dari Partai Golkar sebagai calon Presiden dalam pemilu 2004), atau masuk ke dalam sistem (seperti para penganut 'junta muda mahasiswa' dan seperti aktivis mahasiswa di awal orde baru yang menjadi anggota parlemen atas nama perwakilan mahasiswa), atau membela penguasa/partai yang merupakan patronnya (seperti CGMI yang membela PKI di tahun 1966).

Saya sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa selain sebagai gerakan moral, juga merupakan gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan. Gerakan politik kekuasaan merupakan area concern partai politik dan bukan untuk gerakan mahasiswa. Jika ada aktivis mahasiswa yang bermain dalam area tersebut, seharusnya tidak mengatasnamakan gerakan mahasiswa, tapi lebih baik bergabung dalam partai politik. Gerakan politik nilai memang bersentuhan dengan aktivitas-aktivitas politik, menggunakan berbagai sarana komunikasi politik, dan memiliki target-target politik, tapi bukan berkaitan dengan perebutan kekuasaan. Memang dengan demikian, gerakan mahasiswa akan tampak seperti koboi pahlawan yang datang ke kota untuk memberantas bandit-bandit dan penjahat. Setelah bandit-bandit itu kalah, Sang koboi kembali pulang ke padang rumput.

Mahasiswa akan turun ketika menyaksikan rakyat terzalimi oleh bandit-bandit penguasa dan kembali ke kampus untuk belajar setelah rezim itu 'dihajar' dan diberi pelajaran. Lalu, bagaimana sesudah itu? Siapa yang akan memimpin kota sepeninggal sang koboi? Siapa yang akan memimpin negeri setelah sang diktator turun? Di sinilah rumitnya. Yang pasti, itu bukan tugas koboi muda karena ia masih harus belajar sehingga suatu saat nanti sampai masanya dia memimpin kota. Itu bukan tugas gerakan mahasiswa, ia masih punya tugas akademis dan pembelajaran kaderisasi kepemimpinan di kampus yang menjadikannya siap sebagai para pemimpin masyarakat yang memiliki konsistensi idealisme seperti ketika masih di kampus.

Masalah kekuasaan lebih merupakan tugas partai politik. Gerakan mahasiswa hanya bertanggung jawab mengontrol dan mengawal transisi dan perkembangan demokrasi supaya tetap pada relnya, terlepas dari siapa yang berkuasa. Dalam pelaksanaannya, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk berkoordinasi dengan partai politik, LSM dll ketika lembaga-lembaga tersebut menjunjung nilai-nilai moral universal seperti gerakan mahasiswa.

Meskipun demikian, ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan menggelitik. Mungkinkah terjadi suatu kondisi luar biasa memaksa keterlibatan mahasiswa untuk terjun menjadi para pemimpin negara? Menurut saya mungkin-mungkin saja. Hanya saja, mereka harus siap dengan konsekuensi seperti yang disampaikan Imam Syafi'i : Apabila orang muda terlalu cepat tampil menjadi pemimpin, maka ia akan kehilangan banyak waktu untuk ilmu!. Meskipun demikian, bukan hal yang mustahil pula seorang muda mengakselerasi kematangannya melalui tradisi ilmiah dan pergolakan social yang kental.

Tugas inti kita sekarang, bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi intelektual akademisi, fungsi cadangan masa depan (iron stock), fungsi agen perubah (agent of change), dll. Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Agar kita senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai pemimpin sejati!

0 komentar: