Membangun Generasi Penggagas Menuju Dinamisasi Kepemudaan di Kabupaten Sumedang
(Sebuah Pengantar)
Revolusi betapapun dahsyatnya, selalu bermula dari sebuah langkah kecil, dalah hal revolusi gagasan, Jalaludin Rahmat jauh hari telah melemparkan keyakinannya ke publik; Perubahan yang bermakna seharusnya dimulai dari revolusi gagasan. Yang bisa merubah masyarakat adalah gagasan. Terlepas dari pendapat itu - diterima atau tidak - kita tak perlu memperdebatkannya, idekah yang duluan baru aksi ataukah aksi yang kemudian memunculkan teori (gagasan/ide).
Tampaknya pendapat Jalal tidak sendirian, di sampul pembuka buku Kebudayaan dan Kekuasaan, Edward W. Said, tercetak keyakinan Joseph Cencard bahwa: yang mampu membebaskan penaklukan bumi (imperialisme) yang terjadi berulang-ulang dalam sejarah dunia hanya gagasan semata. Gagasan atau persepsilah yang membuat orang tega-teganya saling menundukan dan baku bunuh "bukan pretensi sentimental, melainkan gagasan".
William Shakespeare, novelis yang terkenal dengan karya monumentalnya Hamlet, menyatakan "... tak ada yang baik dan buruk, kecuali apa yang di produksi oleh persepsi atau gagasan". Bahkan Milton lebih ekstrim lagi, "dengan gagasan kita bisa mencipta Surga dan Neraka."
Gagasan. Kata bertuah itu, saat ini semakin meredup dan menghilang, kalah oleh gema perubahanyang di-"tadarus"-kan oleh "agen-agen" modernisasi. Dengan kata lain, gagasan yakni perangkat mempersepsi dan merancang perubahan yang sistemik, pelan-pelan terkubur dan celakanya lagi pendidikan kita belum mampu melahirkan generasi-generasi penggagas baru yangmampu menembus batas-batas penemuan gagasan yang cukup ekstrim dan efektifitas gagasannyapun cenderung dangkal.
Ada beberapa asumsi yang bisa dicatat mengapa kita sulit melahirkan generasi baru penggagas tersebut. Pertama, agen-agen penginjeksi gagasan kehilangan elan vital untuk mengerami gagasan kritikal dan diskursif. Alat-alat penginjeksi tersebut kini mengerang - bahkan mendesah nikmat - dalam belitan kekuasaan serta birokrasi kepentingan yang menyertainya.
Kedua, tidak adanya ruang diskursif (disonasi) yang lapang dan bebas untuk mendiskusikan tiga "tirani waktu" secara arif dan kritis yaitu masa lampau, masa kini dan masa esok.
Ketiga, adanya oase budaya stagnan dan tunggal yang disuntikan sejarah untuk diterima secara das ding an sich (apa adanya tanpa disertai sikap kritis). Meminnjam istilah Immanuel Kant hal itu sebagai ritus-ritus yng kehilangan rasional kritisnya, ketika berhadapan dengan perubahan yang cepat.
Keempat, percepatan yang tidak terantisipasi itu dengan gesit membentuk masyarakat baru yang bernama "masyarakat tontonan", sebuah masyarakat prematur (premature society) yang dilahirkan modernisme. Masyarakat yang berciri tontonan ini mewariskan tradisi ketakdalaman-ketakdalaman yang dengan keji merongrong akal budi, sebuah spasional tempat ersemayamnya gagasan-gagasan berbobot, mendalam dan kritis.
Mungkin kita patut was-was karena nada-nadanya jalur ini (media tontonan) bakal dipakai penguasa ataupun mereka yang berkepentingan untuk melihat kita tidak maju (dengan dibantu kapitalisme) untuk mendistorsi semua bentuk perlawanan yang dibuat guna membuat masyarakat kita maju khususnya pemuda kita.
Lalu, masih cukup berbobotkah alat-alat penebar gagasan yang kita miliki seperti universitas atau institusi-institusi pendidikan untuk melahirkan gagasan diskursif dan madzhab-madzhab kritis?
Pertanyaan yang menantang dan membutuhkan dialog kritis yang disertai mega proyek dekontruksi di sana-sini. Merujuk dari wacana diatas tugas utama kita kali ini berusaha menelusuri kepekatan itu sembari mencari celah-celah dekontruksi untukmembangun generasi penggagas menuju dinamisasi kepemudaan di Kabupaten Sumedang. Sebuah ide yang muluk tapi kita percaya bahwa madzhab berakidah emansipatoris itu bisa lahir oleh semua institusi pendidikan lewat revolusi gagasan.
Presidium Mahasiswa Sumedang lahir atas sebuah keresahan dan juga kesadaran dari seluruh mahasiswa Sumedang dan seluruh mahasiswa asal Sumedang sebagai generasi potensial dari kalangan muda atas berbagai kondisi dan situasi diatas. Kelahiran tersebut juga didasari atas tanggungjawab moral maupun sosial untuk memajukan Sumedang
William Shakespeare, novelis yang terkenal dengan karya monumentalnya Hamlet, menyatakan "... tak ada yang baik dan buruk, kecuali apa yang di produksi oleh persepsi atau gagasan". Bahkan Milton lebih ekstrim lagi, "dengan gagasan kita bisa mencipta Surga dan Neraka."
Gagasan. Kata bertuah itu, saat ini semakin meredup dan menghilang, kalah oleh gema perubahanyang di-"tadarus"-kan oleh "agen-agen" modernisasi. Dengan kata lain, gagasan yakni perangkat mempersepsi dan merancang perubahan yang sistemik, pelan-pelan terkubur dan celakanya lagi pendidikan kita belum mampu melahirkan generasi-generasi penggagas baru yangmampu menembus batas-batas penemuan gagasan yang cukup ekstrim dan efektifitas gagasannyapun cenderung dangkal.
Ada beberapa asumsi yang bisa dicatat mengapa kita sulit melahirkan generasi baru penggagas tersebut. Pertama, agen-agen penginjeksi gagasan kehilangan elan vital untuk mengerami gagasan kritikal dan diskursif. Alat-alat penginjeksi tersebut kini mengerang - bahkan mendesah nikmat - dalam belitan kekuasaan serta birokrasi kepentingan yang menyertainya.
Kedua, tidak adanya ruang diskursif (disonasi) yang lapang dan bebas untuk mendiskusikan tiga "tirani waktu" secara arif dan kritis yaitu masa lampau, masa kini dan masa esok.
Ketiga, adanya oase budaya stagnan dan tunggal yang disuntikan sejarah untuk diterima secara das ding an sich (apa adanya tanpa disertai sikap kritis). Meminnjam istilah Immanuel Kant hal itu sebagai ritus-ritus yng kehilangan rasional kritisnya, ketika berhadapan dengan perubahan yang cepat.
Keempat, percepatan yang tidak terantisipasi itu dengan gesit membentuk masyarakat baru yang bernama "masyarakat tontonan", sebuah masyarakat prematur (premature society) yang dilahirkan modernisme. Masyarakat yang berciri tontonan ini mewariskan tradisi ketakdalaman-ketakdalaman yang dengan keji merongrong akal budi, sebuah spasional tempat ersemayamnya gagasan-gagasan berbobot, mendalam dan kritis.
Mungkin kita patut was-was karena nada-nadanya jalur ini (media tontonan) bakal dipakai penguasa ataupun mereka yang berkepentingan untuk melihat kita tidak maju (dengan dibantu kapitalisme) untuk mendistorsi semua bentuk perlawanan yang dibuat guna membuat masyarakat kita maju khususnya pemuda kita.
Lalu, masih cukup berbobotkah alat-alat penebar gagasan yang kita miliki seperti universitas atau institusi-institusi pendidikan untuk melahirkan gagasan diskursif dan madzhab-madzhab kritis?
Pertanyaan yang menantang dan membutuhkan dialog kritis yang disertai mega proyek dekontruksi di sana-sini. Merujuk dari wacana diatas tugas utama kita kali ini berusaha menelusuri kepekatan itu sembari mencari celah-celah dekontruksi untukmembangun generasi penggagas menuju dinamisasi kepemudaan di Kabupaten Sumedang. Sebuah ide yang muluk tapi kita percaya bahwa madzhab berakidah emansipatoris itu bisa lahir oleh semua institusi pendidikan lewat revolusi gagasan.
Presidium Mahasiswa Sumedang lahir atas sebuah keresahan dan juga kesadaran dari seluruh mahasiswa Sumedang dan seluruh mahasiswa asal Sumedang sebagai generasi potensial dari kalangan muda atas berbagai kondisi dan situasi diatas. Kelahiran tersebut juga didasari atas tanggungjawab moral maupun sosial untuk memajukan Sumedang
0 komentar:
Posting Komentar