Hilang Tradisi Ngadulag
(klik-galamedia.com, 13/9)TIDAK terasa, bulan Ramadan tinggal beberapa hari lagi. Umat Islam pun sebentar lagi akan menyambut hari kemenangan, setelah satu bulan lamanya melaksanakan ibadah puasa (saum) di bulan Ramadan. Tentunya hari kemenangan ini sangat dinanti-nanti oleh kaum muslimin di dunia, tidak terkecuali oleh masyarakat Jawa Barat.
Dalam menyambut hari kemenangan (Idulfitri) ini, banyak cara yang dilakukan masyarakat. Pada umumnya, masyarakat Jabar menyambut hari kemenangan dengan pesta ngadulag (menabuh beduk, red) keliling kampung. Tradisi ini sudah turun-temurun, sekalipun belum diketahui sejak kapan masyarakat Jabar melaksanakan tradisi ngadulag menyambut Idulfitri.
Ngadulag adalah seni keterampilan menabuh beduk yang ditunjukkan masyarakat ketika menyambut bulan Ramadan, membangunkan orang sahur, sampai menyambut Hari Raya Idulfitri sambil mengumandangkan takbiran.
Pada awalnya, beduk merupakan alat bunyi tradisional sebagai tanda pemberitahuan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa keagamaan, khususnya bagi masyarakat yang beragama Islam. Seperti di banyak daerah di Jawa Barat, beduk dibunyikan sebagai penanda waktu salat, ditabuh dengan berirama menandakan dimulainya ibadah puasa Ramadan, atau menjelang Hari Raya Idulfitri atau memeriahkan suasana takbiran ketika Lebaran.
Di daerah di Jawa Barat, beduk memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagaimana disebutkan di atas. Namun yang sangat menarik adalah bahwa tabuhan beduk di tiap-tiap daerah memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan daerah lainnya. Sehingga, lahirlah sebuah istilah ngadulag yang menunjuk pada sebuah keterampilan menabuh bedkg. Kini keterampilan menabuh beduk telah menjadi bentuk seni yang mandiri, yaitu seni ngadulag.
Ngadulag berasal dari kata dulag. Kata ini mengacu pada tabuhan-tabuhan beduk yang memakai irama tertentu (Kamus Basa Sunda Sacadibrata, 2005:66), atau beduk yang ditabuh dengan berlagu (Kamus Basa Sunda R.A. Danadibrata, 2006:177). Secara umum, bunyi dulag adalah dulugdugdag. Ada juga yang mendengarnya baragadagdag, yaitu ketika beduk dititirkeun setelah imam membaca khotbah saat salat Idulfitri atau Iduladha.
R.A. Danadibrata (2006:177) dan Rachmatullah Ading Affandie atau RAF (1984:50) merinci jenis-jenis dulag. Pertama, ada dulag kuramas, yaitu menabuh beduk untuk memberikan tanda berkeramas karena esoknya mulai berpuasa. Kedua, dulag jaman atau dulag saur.
Jenis tabuhan ini dilakukan ketika sahur, biasanya ditabuh pukul 02.00. Sepuluh menit dulag dipukul secara perlahan-lahan, berhenti beberapa menit, dulag perlahan lagi, kemudian berhenti lagi. Demikian seterusnya hingga pukul 03.00.
Selanjutnya, ada dulag taraweh dan dulag tadarus, yang menandai saat-saat salat tarawih dan tadarusan. Satu lagi, dulag fitrah atau dulag lilikuran, ialah menabuh beduk menjelang masuk malem lilikuran, yaitu malam tanggal 21 Ramadan hingga 1 Syawal. Jenis dulag ini difungsikan sebagai aba-aba dan pemberitahuan untuk membayarkan zakat fitrah.
Ngadulag mempunyai cara tabuh yang berbeda sehingga tidak akan tertukar antara satu jenis ngadulag dengan yang lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan, umpamanya, Usep Romli dalam Dulag Nalaktak (2006) menerangkan bagaimana cara agar ngadulag terdengar merdu, tanaga diatur, rasa dipanteng. Ambeh gumulung, ambeh karasa nikmatna ku nu nakol jeung ku nu ngadengekeun. Ulah dapon beledug. Caranya, beduk ditabuh dengan anca, ngagalindeng, malah sada ngahariring, sehingga bila kita renungkan, yang akan keluar dari beduk itu, misalnya, tirilik jangkrik, jangjang kujang/tirilik jangrik, jangjang kujang.
Sayang, tradisi ngadulag di kalangan masyarakat Jabar ini sekarang sangat sulit dijumpai, terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Sedangkan di masyarakat perdesaan, tradisi ngadulag masih bisa ditemui sekalipun tensinya jauh berkurang dari sebelumnya.
Hadirnya pengeras suara dan alat komunikasi lainnya, menjadi penyebab hilangnya tradisi ngadulag di masyarakat kota. Kurangnya minat generasi muda terhadap tradisi ngadulag pun dijadikan salah satu penyebab lainnya. Padahal, untuk bisa ngadulag tidak diperlukan keahlian tertentu.
"Yang penting ada kemauan dan niat untuk nakol beduk dengan berirama," ungkap salah seorang seniman Bandung, Adja Sondari saat dimintai komentarnya.
Menuru Adja, konon, dulu tradisi ngadulag tidak pernah lepas dari masyarakat Jabar. Adja tidak mengetahui persis kapan tradisi ngadulag berkembang di tengah masyarakat Jabar. Namun yang pasti, awalnya dari kebiasaan masyarakat memukul beduk untuk menunjukkan atau menandakan waktu salat. (kiki kurnia/"GM"/berbagai sumber)**
0 komentar:
Posting Komentar